Subscribe to RSS feed

Selasa, 18 Mei 2010

Bahasa dan Iklan


       Ketika rumah menjadi tempat berteduh dari panas dan hujan serta menjadi tempat berkumpul dengan keluarga, menjadikan rumah sebagai kebutuhan yang tidak dapat dikesampingkan. Terus bertambahnya jumlah penduduk dan semakin sedikitnya lahan membuat harga rumah dan tanah melambung tinggi. Nah, iklan properti ini juga menarik bila dilihat dari bahasa dan menghadirkan sejumlah kesulitan mencerna maksud pemasang iklan bagi para calon pembeli.

      Istilah yang paling sering muncul ketika membaca iklan properti adalah lokasi strategis. Jika lokasinya dikatakan strategis, harga rumah atau tanah langsung tinggi. Memang pantas, karena lokasinya strategis! Hanya saja, apa itu lokasi strategis? Strategis buat siapa? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, strategis itu ”baik letaknya”. Baik yang bagaimana dan buat siapa? Setelah mengamati sejumlah iklan tanah dan rumah yang dinyatakan berada di tempat baik ini, saya mempunyai kesimpulan bahwa strategis tak jarang diidentikkan dengan ramai, setidaknya dekat dengan keramaian. Bukan sebuah kebetulan bahwa kata strategis sering muncul berdekatan dengan ucapan ”dekat jalan raya” atau “dekat pertokoan”. Jika benar begitu berarti kata strategis bagi sebagian orang yang mencari rumah yang tenang jauh dari keramaian, justru sangat tidak strategis . Dicari: tanah di tempat sangat tidak strategis.

      Para pembaca atau peminat juga sering dibuat bingung oleh pemasang iklan dengan cara keterangan mereka. ”Rumah nyaman di jual”. Di manakah jual itu? Atau: ”bisa di nego”. Di manakah nego itu? Mengapa bisa begitu susah membedakan di- sebagai awalan kata kerja dalam bentuk pasif dan di sebagai preposisi? Harga rumah atau tanah mungkin lebih tepat jika dikatakan ”bisa ditawar”. Pernah saya lihat iklan rumah yang pemasangnya mengaku harganya “harga sahabat”. Saya kira cukup kreatif dari pihak penjual: padahal kebanyakan peminat atau calon pembeli tidak kenal, padahal walaupun kenal harga tidak pasti akan turun. Paling parah, tetapi juga cukup lumrah: ”harga bisa nego”. Itu jelas bohong belaka. Harga tidak bisa berunding.


     Pemakaian bahasa yang tidak tepat dan ambigu membuat bahasa iklan terasa berlebihan dan mengada-ada, akhirnya para pembaca iklan/calon pembeli enggan atau tidak percaya dengan iklan tersebut karena dirasa "menipu" atau berlebihan. pada akhirnya hendaknya pembuat/pemasang iklan memakai bahasa/ kata yang tepat dan tidak ambigu apalagi berlebihan dalam beriklan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar